Kamis, 03 November 2016

Hibur Hati Sesaat (5)



Hibur Hati Sesaat
Sampai di Ponorogo tepan pada adzan subuh bergema pada sebuah mesjid di pondok, terlihat banyak santriwati bersiap menata air dalam wudhu, ada beberapa yang membawa sikat gigi dan odol sembari berwudhu, Hadi melihatnya dalam kejauhan dari gerbang, bus berhenti tepat di depan gerbang pondok, terpampang nama pondok Darul Qur’an, embun yang mengarungi lampu bus penanda kabut shubuh yang dingin pada saat itu. Bukan hanya bus, mobil-mobil lain juga berderet parker mengantar buah hati masing-masing.
“Ka Hadi…” Panggil Dewi kepada Hadi yang sempat terpaku sejenak.
“Oh ya…” Hadi temani Dewi tuk mengantarnya sampai ke pondok.
Berdua ke ruang tamu, Dewi menjinjing satu tas, Hadi menyeret koper besarnya Dewi, mereka berdua harus melapor ke ruang tamu. Di samping gerbang pondok, tepat sebelah kiri, dan ada empat santri menjaga, ke empatnya berjaket, Hadi tak tau kelas berapa, ia hanya melapor atas kedatangan Dewi.
Hadi ingin ikut masuk mengantar Dewi melewati gerbang, namun seseorang yang tinggi dan besar, seperti orang padang pasir berdiri tepat di depan Hadi, “Maaf Mas di sini saja, dilarang masuk bagi laki-laki.”
“Ka Hadi tunggu di sini, nanti Dewi kembali lagi.” Dewi berbisik pada Hadi.
Hadi menunggu di samping gerbang, sorot mata memandang melewati gerbang, tampak keramaian santriwati sibuk dengan kegiatannya. Ada yang membaca al-Qur’an, ada yang berdzikir, ada yang menyapu, ada yang mengepel, ramai saat itu kegiatan sembari menunggu matahari tampakkan diri. Namun, ada satu perempuan entah itu santriwati atau itu ustadzah Hadi tak tau, ia mulai mendalami pandangannya pada seseorang itu, tubuhnya kurus, dengan pakaian gamis putih, jam tangan berwarna pink, dengan kaos kaki warna hitam, bibirnya yang tipis, kedipan matanya yang lembut, cara bicaranya yang santun, Hadi tak mendengar suaranya karna diiringi dengan suara keramaian orang. Kadang seseorang itu bercanda tawa kepada temannya, senyumnya yang anggun menggugah hati pada kala orang memandangnya, kulitnya putih, matanya yang agak sipit, hidungnya yang tidak terlalu mancung, tubuhnya yang mungil memaksa mata tak berberhenti memandang. Kini ia duduk tepat di samping mesjid bersandarkan dinding mesjid pondok, dengan buku bacaan di tangannya, Hadi tak sadar dirinya telah memperhatikannya hingga matahari mulai muncul setengah. Kadang sesekali dia tertatap kepada Hadi namun ia acuh, dan membaca buku kembali.
Dalam hati Hadi tertawa bertemu wajah yang imut lagi cantik dengan parasnya, ia anggun, berbicara nan sopan, senyum yang mempesona, kalau berjalan pada yang lebih tua ia tunduk dengan hormatnya, kadang ia menghibur sahabatnya, saat bicara ia langsung memainkan tangan memperkuat perkataannya membuat orang memperhatikannya. “Ada apa lagi denganku ini?.” Hadi menepuk kepala sembari heran dan tidak terlalu mengikuti hati untuk lebih mengenal dekat dengan seseorang tadi. Hadi sadar, mungkin ini hanya sebuah penghibur hatinya yang lagi terluka, obat bagi jiwa sementara, mungkin hanya sebatas penghibur dari Allah tuk meredakan kesedihannya sesaat. Hadi pandang sebelah timur, matahari telah membuka pagi dengan sinarnya menembus relung-relung hati wali santriwati mengecup mesra anaknya yang hendak ditinggal di pondok tuk tuntut ilmu.
Menjelang waktu dhuha, Dewi tak kunjung datang juga menemui majid, mungkin karna belum waktunya untuk bisa keluar, Hadi duduk di teras ruang tamu, hanya dia sendiri di sana, ia mulai jenuh, akhirnya ia berwudhu sembari tenangkan pikiran, ia sholat dhuha di mushola dalam ruang tamu, berukuran sekitar 5 x 5 per segi empat, tanpa ada seorang pun di sana karna waktu masih terlalu pagi.
Hadi duduk kembali di teras tamu menanti kedatangan Dewi, seperti orang tua biasanya, ia duduk melamun sambil melihat keadaan pondok dari kejauhan. Terkadang ada beberapa santriwati yang bisa ia lihat sebagai hiburan mata sesaat menghilangkan kejenuhan, hingga sudah jam 10 siang Hadi tetap duduk, cuaca saat itu mendung mengabarkan gerimis akan segera turun, Dewi tak juga datang.
Hadi tak bisa meninggalkan Dewi karna, uang dari orang tua Dewi untuk Dewi masih di tangan Hadi. Rintik hujan mulai turun, kadang Hadi mondar mandir mengisi waktu yang luang, kadang ia membuka buku yang di bawanya dan membacanya, kadang ia berceritaan dengan penjaga gerbang.
“Kring…! Kring….! Kring….!” Bunyi bel sepeda dari belakang Hadi.
“Brak!!!.” Hadi terjatuh bersama sepeda yang menabraknya. Tampak oleh Hadi seseorang yang bermata sipit, wajahnya putih, jilbab putih dan pakaian gamis seperti perempuan yang ia pandangi pagi tadi.
“Aduuuhhh, maaf mas, maaf saya tidak sengaja, remnya mendadak gak mau dan cuaca gerimis membuat jalan jadi licin, aduuhhh sekali lagi maaf mas.” Ucap perempuan tersebut dengan wajah yang malu sekaligus tidak nyaman atas tindakannya, badannya terjatuh bersamaan dengan Hadi terjatuh, tangannya ingin menggapai Hadi untuk membersihkan bajunya tapi seperti ada sesuatu yang ia pikirkan hingga ia kembali ambil tangannya. Tingginya sekitar 158 cm, kerudungnya sedikit kotor karna terjatuh, pipinya lesung, bibirnya yang tipis. Tak sadar pandangan Hadi sudah terikat dengan parasnya perempuan tersebut, ia diam memandang, mungkin karna begitu cantik ia terpaku di hadapan perempuan tersebut, ia sadar bahwa sosok inilah yang ia pandangi pagi tadi, yang duduk di teras mesjid sambil membaca buku, sebegitu indah parasnya membuat ia terjebak dalam diamnya, hampir 3 menit perempuan itu berbicara minta maaf, selama itu pula Hadi diam menatap wajahnya.
“Mas?....” Perempuan tersebut tegur Hadi takut terjadi sesuatu.
“Eh iya mba, oh gak apa-apa mba, lagian jalannya memang licin, mba gak papa?.” Jawab Hadi dengan tegang dan agak sedikit malu.
Bunyinya bel dari dalam pondok memisah kedua insan tersebut. Perempuan itu masuk ke dalam gerbang, kakinya yang sedikit pincang membuatnya sulit untuk membawa sepeda, namun dari raut wajahnya hanya rasa tidak nyamannya terhadap Hadi. Hadi tersenyum memandangnya, dari rintikan gerimis yang turun seolah salju yang bertebaran.
Hadi tidak tau apakah ini adalah seseorang yang menjadi pengganti sebagian hatinya yang hilang, penjahit luka hatinya, penghibur kesedihannya. Ia hanya bingung dan termenung atas kejadian tadi, setitik harapan yang ia suguhkan kepada Allah, ia berharap Allah memberikan yang terbaik baginya, bagi orang tuanya. 
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1, Tangis Cinta 2, Tangis Cinta 3 , Bunga Memekar Kembali
Cerita selanjutnya: Hujan Tinggalkan Kenangan
Jangan lupa ya teman-teman! Share and ikuti, kemudian kasih tanggapan, tanggapan dari teman adalah ilmu bagi saya... :) Lihat season selanjutnya "Hujan Tinggalkan Kenangan" atau di bawah profil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar