Jumat, 28 Oktober 2016

Tangis Cinta 2


 
Tangis Cinta 2
Der!!!” kilat dan petir saling beradu, sayu kedinginan malam mulai merebak, rumah sakit tertinggal sepi, tak ada suara yang menyenangkan hati, semua bergejolak dan terperangkap dalam segala kesedihan, terselip suara rintihan sakit menusuk hingga ke ulu jiwa yang menatapnya.
Hadi tak kuasa, dirinya selalu ingin menjumpa, ia ingin berdiri mendekat ke kamar 306, Hadi berusaha kuat dan tak gentar meski dari dalam kamar terdengat ia tangis sakit yang keras. Hatinya menjadi tak menentu. Ia bingung, ia ragu, ia menolak dan tak ingin mendengar, ia lebih baik ke teras dekat mushola mengenang kembali satu kenangan terindah yang terukir bersama Siti Humairoh. Sebuah kenangan yang tak  terlupakan, di malam setelah lebaran, di pusat kota, di taman-taman, beralas rumput, beratap bintang-bintang gemilang, berselimut malam, berhias letusan kembang api memecah keheningan.
Malam itu adalah kenangan terakhir dalam kebersamaan. Saat itu Humairoh tidak sendirian, ia ditemani dua adik perempuan, Hadi duduk bersilah dengan sebuah gitar dipelukannya, petikan gitar beriring dengan nyanyian bersama, kadang hanya Hadi dan Humairoh yang satukan suara mendendang lagu “Zaujaty”, dua adiknya hanya bisa bertopang dagu dengan bingung dan senang.
Ketika itu kembang api meluncur kembali seolah ingin menembus langit, semua berhenti tak bernyanyi, bersama menatap langit dengan hiasan kembang api memecah suasana malam. Namun malam itu ia tak sedikitpun berpesan, dibalik pancaran parasnya, di tengah gelapnya malam ia puaskan diri untuk menatap Hadi dalam-dalam, dua matanya begitu lekat memandang, sangat lekat, membuat suasana terhenti sejenak merekam setiap incinya, matanya yang sipit seolah melebar, berjalannya waktu pada malam itu berjalan pula kenangan yang terekam dalam ingatannya.
“Kamu kenapa Umi?” sesaat Hadi terdiam, dua adiknya baru sadar jika Humairoh ada dalam lamunan.
“Aku ingin denger satu lagu dari Mas, satu laguuuu aja,” Humairoh meminta dengan manja. Majid ingat, jemari Humairoh menunjuk angka satu, dengan wajah yang tersenyum dalam layu.
Mungkin itu permintaan terakhir darinya, permintaan yang hanya sekali ia utarakan dibalik sejuta pesan yang selalu ia berikan. Ingatan majid sangat kokoh, selalu mengingat cara jalannya, tatapannya, pesannya, lenggok kepalanya kala berkata dilanda dilemma duka, tulisan tangannya, mimik raut wajah cemberut yang seolah memanggil untuk dipagut dalam mesra.
“Hadi!” tiba-tiba Ibu memanggil, ia berdiri dibelakang Hadi, “Humairoh menunggumu di dalam.”
Hadi berdiri seraya rasa yang tak menentu meresap hati. Ia berusaha menguatkan diri walau pada hakikatnya ia lemah tak berdaya. Hadi berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum meski hakikatnya terpanah duka. Hadi berusaha menahan air mata meski hakikatnya tlah menetes untuk ketiga kalinya. Hadi berusaha terlihat tenang walau pada hakikatnya dirinya terlampau khawatir ditinggalkan. Entah mengapa ada yang membisik untuk belajar melepasnya. Untuk belajar mengikhlaskannya.
“Bagaimana keadaannya Bu?” Hadi terus berusaha bertahan dengan pertanyaan, agar hatinya bisa menguat meski yang terjadi justru melemah. Hadi kembali bertanya,” Ibu! Bagaimana Humairoh bu?,” seolah Hadi ingin mendengar keadaan Humairoh dalam keadaan baik padahal sayup hatinya mengatakan sebaliknya.
Ibu tak menjawab, dia menatap sembari berjalan, seakan begitu berat untuk membri sebenar kabar sesungguh makna.
Jalan rumah sakit seolah menjadi gua, sunyi senyap. Lampu redup tak bersahaja, Hadi mulai tertarik, mulai melangkah cepat, semakin cepat, sampai dekat pintu Hadi sekilat mungkin mengusap mata yang berlinang air, mengubah duka menggambar tawa di wajahnya. Sebelum membuka pintu, tangan Hadi bergetar hebat seiring dada yang terguncang dahsyat.
Pertama kaki melangkah masuk semua yang ada di dalam menatap tajam Hadi menunjuk khawatir pada Hadi, hamper semua pipi basah kuyup, tapi tak semua menghapusnya, Bapak bahkan terpejam diam sedang air mengalir dari kedua jepitan matanya. Semakin Hadi mendekat semua semakin menjauh dari ranjang. Senyum Hadi gambar di dua katup bibir, dua matanya sudah beradu dengan tatapan Siti Humairoh, ia pun dengan sekuat tenaga melukis ceria di kala duka.
“Tinggalkan kami berdua sendirian,” Humairoh meminta.
“Ka’,” Adiknya Dewi merengek.
“Sebentar saja dek ya,” Humairoh membujuk, tangan tertusuk infuse membelai ubun si kecil.
“Ayo Wi,” kakaknya yang lebih besar memaksa, Dewi ditarik keluar dari belakang.
Semua menyingkir, tinggal Hadi dan Humairoh, hanya mereka berdua di kamar 306, tak ada suara kecuali derap gerimis membasahi bumi, detak jarum jam bisa menghilang. Hadi tatap wajahnya, Humairoh tak lagi berkerudung, rambut ratanya terurai dipelataran putih bantal.
“Aku akan pergi mas,” tersenyum Humairoh mengucap, senyum yang diselimuti duka yang mendalam teramat sangat.
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1
Cerita selanjutnya: "Tangis Cinta 3", Bunga Memekar Kembali, Hibur Hati Sesaat, Hujan Tinggalkan Kenangan

Untuk kelanjutannya silahkan kunjungi post saya "Tangis Cinta 3"
Jangan lupa ya teman-teman! Follow, like and Share kemudian komentar atau tanggapan setelah membaca postingan saya :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar