Tangis Cinta 1
Lambaian adzan isya mengisyaratkan pergi sejenak, kini burung
berkicau memberitahukan kedatangannya kepada cicit-cicit yang menanti, cahaya
bintang redup menutup malam, yang tampak dari singgasana alam berubah menjadi
kehampaan yang menakutkan, kadang sekilat petir menggaris cepat, malam
bergerumuh seakan mengabarkan kehadirannya yang tak ramah pada malam itu,
hembus angin tak pandang jiwa menerpa sayup-sayup raga, deraian tangis dan
nyanyian tidur untuk bayi-bayi memekik setiap sudut ruangan dan kamar. Semua
sunyi, tak ada percakapan, tak ada canda, tak ada tawa, hanya terdengar
segeletuk sepatu suster yang berjalan di atas keramik putih.
Dari sudut ruangan, tampak seseorang yang berduduk dengan jiwa yang
goyah tak menentu arah, dia Muhammad Hadi yang biasa dipanggil Hadi, berduduk
dengan kaki yang gemetar, matanya merah berair melinang deras, terkadang
menatap kamar 306 seolah jiwanya berada di sana, hatinya tak menentu berdo’a,
bibir bergemetar, jantungnya tak teratur berdegup, saat itu seolah Hadi tak
merasakan dingin padahal seketika malam dingin itu menyelimutinya, tabir diam
tapi tak membisu, seribu do’a terpanjat demi seseorang yang terbaring lemah,
demi seseorang yang mulai membuka kehidupan baru setelah dunia. Hadi tak tahan,
tak kuat berucap apa-apa, kakinya tak mampu berdiri, matanya tak mampu
memandang, ketakutan yang menyelimutinya menghilangkan segala kekuatannya,
meski di luar telah tampak hujan berturunan, telah tampak gerimis memercik tiap
atap-atap, namun telinganya telah tuli, yang ia dengar hanyalah sebatas
kenangan bisikan-bisikan kecil dari kekasih yang telah ia lamar.
Humairoh, Siti Humairoh namanya. Gadis yang umurnya lebih muda dari
Hadi terbaring lemah di ranjang putih. Teringat oleh Hadi, wajahnya yang sedih
pucat, layu, putih parasnya telah menghilang tak tau mengapa, suaranya yang
lemah, kedipan mata beriringan mengalir air matanya, suaranya serak parau
hamper hilang, ketidakberdayaannya ditutupi di bawah selimut, nafasnya yang
lemah seakan mulai menghitung waktu yang tersisa.
Hadi memejamkan mata, mengingat saat indah bersamanya, mengingat
saat dahulu ia mengajaknya ke tepi pantai memandang matahari yang mulai malu
saat malam tiba, mengingat setiap tawa mungil dari bait-bait candaan Hadi,
mengingat senyuman manis dari bibirnya yang merah sedu, tak peduli angin
menghembus, saat itu berlari bersama ikut alur hati keduanya tanpa mengenal
kepedihan, tanpa mengenal perpisahan. Saat itu matahari sudah terlelap, berdua
duduk dengan senyuman menelan kepergian hari yang hendak berganti. Hadi menatap
kedua bola mata Humairoh yang sipit, menatap seseorang yang terhitung beberapa
bulan akan ia nikahi.
“Mas, hari ini Humairoh bahagia banget,” Humairoh senyum dengan
lesung pipit yang cantik, senyum dari lubuk hati terdalam, dari hijab cinta,
dari rasa suci.
Seketika Hadi membuka mata, matanya kembali dilinang air mata, ia
sadar kenangan itu tlah pergi dan sulit kembali. Kini ia duduk sendiri di
bangku sudut ruangan menanti kabar dari kamar 306.
Sejenak Hadi mengintip ke kamar, tampak Humairoh menjerit sakit,
mulutnya gemetar dan matanya memejam perih, seketika terlintas kembali kenangan
sat dulu pertama kali Hadi dan Humairoh berkenalan. Humairoh pulang tanpa
jemputan dari paman biasanya, Hadi yang kebetulan lewat dan Humairoh
memberhentikannya, saat motor melaju Humairoh berteriak dari belakang, “Jangan
kencang-kencang Mas! Nyawa hanya satu.”
Hadi ingat kembali perkataan dari Humairoh itu, kembali menyayat
hatinya. Ia ingat tangan yang memegang kerudung agar tidak terkibar oleh angin
ketika itu, Hadi masih teringat bagaimana matanya mengedip dan membuka, tutur
kata malu yang meminta bantuan, Hadi selamanya akan ingat momen bersama itu
walau tlah lupa warna kerudung yang Humairoh rajut ujungnya.
Waktu turun Humairoh berpesan, “Jangan kencang-kencang Mas, banyak
keluarga yang menanti saya.”
Seketika Hadi terkesan, ia baru mengetahui kalau Humairoh beradik
dua perempuan, ia anak pertama. Ketika itu Hadi terdiam malu, saat itu Hadi
memohon maaf dan berkenalan.
Tiap bait-bait pesan dari seorang Humairoh tetap hadir mengisi
hatinya di setiap detik yang ia punya, setiap gerak langkah yang ia ingat. Ia
pernah berpesan, sendok setelah makan jangan mengecap, kalau minum jangan
berdiri, kalau tertawa jangan terlalu lama terbahak, kalau jalan jangan terlalu
menunduk, kalau tidur lampu kamar dikerupkan. Semua, semua pesan dari Humairoh
masih kokoh dalam ingatannya. Humairoh bukanlah hanya sebuah nama yang terucap
sejenak.
Tetapi semua itu tlah tinggal kenangan yang entah kapan akan
terulang kembali. Hadi tak tahu kenapa semua keluarga Humairoh tlah berkumpul
di kamar 306, bahkan ayah dan ibu calon mertua. Semua ada di dalam. Tapi
Humairoh melarang Hadi untuk masuk, Hadi tak bias menolak meski hati berada
dalam cemas derita. Kadang tubuh dingin, kadang hangat, kadang serentak tubuh
ingin mendekat. Entah mengapa tergambar sisi-sisi kematian dari seorang pengisi
lubuk hatinya.
Jangan lupa ya teman-teman! Follow, like and Share kemudian komentar atau tanggapan setelah membaca postingan saya :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar