Jumat, 28 Oktober 2016

Tangis Cinta 1

 
Tangis Cinta 1
Lambaian adzan isya mengisyaratkan pergi sejenak, kini burung berkicau memberitahukan kedatangannya kepada cicit-cicit yang menanti, cahaya bintang redup menutup malam, yang tampak dari singgasana alam berubah menjadi kehampaan yang menakutkan, kadang sekilat petir menggaris cepat, malam bergerumuh seakan mengabarkan kehadirannya yang tak ramah pada malam itu, hembus angin tak pandang jiwa menerpa sayup-sayup raga, deraian tangis dan nyanyian tidur untuk bayi-bayi memekik setiap sudut ruangan dan kamar. Semua sunyi, tak ada percakapan, tak ada canda, tak ada tawa, hanya terdengar segeletuk sepatu suster yang berjalan di atas keramik putih.
Dari sudut ruangan, tampak seseorang yang berduduk dengan jiwa yang goyah tak menentu arah, dia Muhammad Hadi yang biasa dipanggil Hadi, berduduk dengan kaki yang gemetar, matanya merah berair melinang deras, terkadang menatap kamar 306 seolah jiwanya berada di sana, hatinya tak menentu berdo’a, bibir bergemetar, jantungnya tak teratur berdegup, saat itu seolah Hadi tak merasakan dingin padahal seketika malam dingin itu menyelimutinya, tabir diam tapi tak membisu, seribu do’a terpanjat demi seseorang yang terbaring lemah, demi seseorang yang mulai membuka kehidupan baru setelah dunia. Hadi tak tahan, tak kuat berucap apa-apa, kakinya tak mampu berdiri, matanya tak mampu memandang, ketakutan yang menyelimutinya menghilangkan segala kekuatannya, meski di luar telah tampak hujan berturunan, telah tampak gerimis memercik tiap atap-atap, namun telinganya telah tuli, yang ia dengar hanyalah sebatas kenangan bisikan-bisikan kecil dari kekasih yang telah ia lamar.
Humairoh, Siti Humairoh namanya. Gadis yang umurnya lebih muda dari Hadi terbaring lemah di ranjang putih. Teringat oleh Hadi, wajahnya yang sedih pucat, layu, putih parasnya telah menghilang tak tau mengapa, suaranya yang lemah, kedipan mata beriringan mengalir air matanya, suaranya serak parau hamper hilang, ketidakberdayaannya ditutupi di bawah selimut, nafasnya yang lemah seakan mulai menghitung waktu yang tersisa.
Hadi memejamkan mata, mengingat saat indah bersamanya, mengingat saat dahulu ia mengajaknya ke tepi pantai memandang matahari yang mulai malu saat malam tiba, mengingat setiap tawa mungil dari bait-bait candaan Hadi, mengingat senyuman manis dari bibirnya yang merah sedu, tak peduli angin menghembus, saat itu berlari bersama ikut alur hati keduanya tanpa mengenal kepedihan, tanpa mengenal perpisahan. Saat itu matahari sudah terlelap, berdua duduk dengan senyuman menelan kepergian hari yang hendak berganti. Hadi menatap kedua bola mata Humairoh yang sipit, menatap seseorang yang terhitung beberapa bulan akan ia nikahi.
“Mas, hari ini Humairoh bahagia banget,” Humairoh senyum dengan lesung pipit yang cantik, senyum dari lubuk hati terdalam, dari hijab cinta, dari rasa suci.
Seketika Hadi membuka mata, matanya kembali dilinang air mata, ia sadar kenangan itu tlah pergi dan sulit kembali. Kini ia duduk sendiri di bangku sudut ruangan menanti kabar dari kamar 306.
Sejenak Hadi mengintip ke kamar, tampak Humairoh menjerit sakit, mulutnya gemetar dan matanya memejam perih, seketika terlintas kembali kenangan sat dulu pertama kali Hadi dan Humairoh berkenalan. Humairoh pulang tanpa jemputan dari paman biasanya, Hadi yang kebetulan lewat dan Humairoh memberhentikannya, saat motor melaju Humairoh berteriak dari belakang, “Jangan kencang-kencang Mas! Nyawa hanya satu.”
Hadi ingat kembali perkataan dari Humairoh itu, kembali menyayat hatinya. Ia ingat tangan yang memegang kerudung agar tidak terkibar oleh angin ketika itu, Hadi masih teringat bagaimana matanya mengedip dan membuka, tutur kata malu yang meminta bantuan, Hadi selamanya akan ingat momen bersama itu walau tlah lupa warna kerudung yang Humairoh rajut ujungnya.
Waktu turun Humairoh berpesan, “Jangan kencang-kencang Mas, banyak keluarga yang menanti saya.”
Seketika Hadi terkesan, ia baru mengetahui kalau Humairoh beradik dua perempuan, ia anak pertama. Ketika itu Hadi terdiam malu, saat itu Hadi memohon maaf dan berkenalan.
Tiap bait-bait pesan dari seorang Humairoh tetap hadir mengisi hatinya di setiap detik yang ia punya, setiap gerak langkah yang ia ingat. Ia pernah berpesan, sendok setelah makan jangan mengecap, kalau minum jangan berdiri, kalau tertawa jangan terlalu lama terbahak, kalau jalan jangan terlalu menunduk, kalau tidur lampu kamar dikerupkan. Semua, semua pesan dari Humairoh masih kokoh dalam ingatannya. Humairoh bukanlah hanya sebuah nama yang terucap sejenak.
Tetapi semua itu tlah tinggal kenangan yang entah kapan akan terulang kembali. Hadi tak tahu kenapa semua keluarga Humairoh tlah berkumpul di kamar 306, bahkan ayah dan ibu calon mertua. Semua ada di dalam. Tapi Humairoh melarang Hadi untuk masuk, Hadi tak bias menolak meski hati berada dalam cemas derita. Kadang tubuh dingin, kadang hangat, kadang serentak tubuh ingin mendekat. Entah mengapa tergambar sisi-sisi kematian dari seorang pengisi lubuk hatinya.

Untuk kelanjutannya silahkan kunjungi post saya "Tangis Cinta 2"
Jangan lupa ya teman-teman! Follow, like and Share kemudian komentar atau tanggapan setelah membaca postingan saya :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar