Jumat, 28 Oktober 2016

Tangis Cinta 3


Tangis Cinta 3

Tersentak Hadi mendengar, tak kuasa membayang, ingin menutup dua telinga tak mendengar, bulu kuduknya berdiri ratapi kekasih yang hendak pergi tak akan pernah sudi kembali,”Jangan berkata seperti itu Umi! Kamu pasti sembuh,” sedikit terbata bercampur takut Hadi mengucap, kepalanya mendekat ke sisi Humairoh seraya menarik kursi roda bersikap ala kadarnya, “Sudah minum obat Mi?” Humairoh dipembaringan menggeleng.
“Bagaimana bisa sembuh kalau kamu belum minum obat?” Hadi berdiri, mengambil obat di atas meja seraya mengusap air mata, air putih Hadi tuang di gelas kecil. Saat bungkus kapsul disobek Humairoh memotong.
“Mas… ajalku sudah dekat,” Humairoh tetap berusaha untuk tersenyum.
“Kamu bergurau, siapa yang tahu ajal?” Hadi mengelak dalam kepalsuan, matanya yang mulai berair sebagai tanda tak rela dengan kenyataan. Hadi tetap menumpah pil ke telapak tangan.
“Mas, Humairoh mohon relakan saya mas!!! Jangan bersikap yang tidak-tidak.” Humairoh menutur kata pembalut duka.
Hadi terpaku diam menggenggam obat, “Humairoh…”
“Mas, aku mohon ikhlaskan diriku untuk pergi, aku tidak bisa menjadi istrimu di dunia ini.”
“Kamu ini bicara apa?” hati hadi terasa terus tertekan tanpa pernah mau berhenti.
“Mas ikhlakan diriku pergi, tumbuhkan kembali cintamu untuk orang lain, dia pasti lebih baik dariku.”
Hadi mulai tak berkilah, diam membisu, menatap pun tak sanggup, hati Hadi teramat pilu, tangannya secara serentak menggapai tangannya dan menggenggam erat. Hadi mulai merasa berat.
“Mas! Humairoh mohon lepaskan tanganku mas, berikan kesucian tanganmu untuk istrimu nanti,” Humairoh halus berpesan.
Hadi perlahan sadar, Humairoh benar hendak menjemput ajal.
“Mas, tolong dengarkan aku!” Humairoh mringkan wajahnya.
Hadi sangat berat, teramat berat memandangnya, setengah duduk, setengah berdiri.
“Setelah ini, sayangilah wanita yang benar mencintai sepenuh hati, seperti Mas menyayangi Humairoh. Jangan lelah Mas, jangan sampai sedikitpun berkurang walau satu senyuman!” Humairoh menarik satu dua tiga nafasnya.
Untuk teramat sangat Hadi tak sanggup.
“Mas, boleh aku minta tolong untuk terakhir kalinya?” Humairoh menitikkan air mata diselingi suara sedih dari kedua bibirnya.
Hadi tak bisa menjawab, matanya terlanjur basah, tenggorokan terlanjur tercekat.
“Antarkan Dewi ke pondoknya, aku tidak bisa lagi mengantarnya.”
Tiba-tiba semua sunyi, Hadi masih tertunduk, tak tahu lagi dimana tubuh bertopang, semua terasa hampa tanpa suara. Hadi melihat tangan Humairoh terjatuh, menggantung tak bernyawa, keliatan cincin yang melingkar merombak kesedihan yang teramat sangat, Hadi saat itu baru sadar bahwa Humairoh baru saja pergi meninggalkannya tuk selamanya.
Malam itu Hadi dekapkan dua tangan Humairoh di antara dada dan perutnya. Malam itu Hadi membiarkan kedua matanya menangis, membiarkan hati teremas sangat dalam kepedihan, perpisahan antara dua alam yang kekal, perpisahan yang sedikitpun tak terlintas di pikirannya, kini Hadi harus menghadapinya tanpa pandang siap atau tidak, karena mimpi yang hadir tiap amalam hanya duduk berdua di pelaminan, Hadi masih memandang Humairoh yang masih terbujur kaku, linangan air mata begitu deras membasahi pipi hingga ke dagu, Hadi masih mengharap ini bukan kenyataan, gemetaran bibir memanggil Humairoh tak terhitung, kini Humairoh hanyalah sebuah kenangan dari masa lalunya bukan untuk masa depannya, Hadi menangis sembari melintas kenangan-kenangan yang tersimpan kuat dibenaknya.
Entah kapan pintu terbuka, entah kapan semua masuk meratap tangis, entah kapan semua sadar bahwa Humairoh tlah pergi dan tak kembali. Saat itu ada yang ingin menutup parasnya Hadi melarang, hadi ingin tetap memandang di detik-detik terakhir sebelum ia menghilang., Hadi ingin tetap memandang tuk mengingat segala seliat senyuman, kata, suara, mata menawan, dan dendang indah lagunya.
“Hadi,” Bapak coba tenangkan.
Hadi tak peduli, Hadi tetap mengelilingi setiap detik yang dulu dimiliki, bahkan 11 hari di rumah sakit seolah ingin diulang, menyuapi, memberinya obat, bercerita, bertukar harapan. Permintaan untuk mengantar Dewi sudah diucap sejak enam hari terbaring lemas, sejak saat itu ia tak pernah lagi mengucap cinta, tak pernah membisik saying, ia mungkin sudah tahu akhir dari sakitnya hanyalah kematian, pernikahan yang dulu menjadi sebuah harapan terindahnya menjadi butiran-butiran debu yang lenyap dengan kenyataan.
Hadi ingin membanting semua yang ada di depan matanya, semua yang ada di hadapannya, Hadi sangat sulit menerima, Hadi belum bisa ikhlaskan kegagalan cinta.
Jangan lupa ya teman-teman! Follow, like and Share kemudian komentar atau tanggapan setelah membaca postingan saya :D
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1, Tangis Cinta 2.
Cerita selanjutnya:  Bunga Memekar Kembali, Hibur Hati Sesaat, Hujan Tinggalkan Kenangan
 
Terima kasih dan tunggu season berikutnya  ya teman-teman... Tetap kunjungi :D

Tangis Cinta 2


 
Tangis Cinta 2
Der!!!” kilat dan petir saling beradu, sayu kedinginan malam mulai merebak, rumah sakit tertinggal sepi, tak ada suara yang menyenangkan hati, semua bergejolak dan terperangkap dalam segala kesedihan, terselip suara rintihan sakit menusuk hingga ke ulu jiwa yang menatapnya.
Hadi tak kuasa, dirinya selalu ingin menjumpa, ia ingin berdiri mendekat ke kamar 306, Hadi berusaha kuat dan tak gentar meski dari dalam kamar terdengat ia tangis sakit yang keras. Hatinya menjadi tak menentu. Ia bingung, ia ragu, ia menolak dan tak ingin mendengar, ia lebih baik ke teras dekat mushola mengenang kembali satu kenangan terindah yang terukir bersama Siti Humairoh. Sebuah kenangan yang tak  terlupakan, di malam setelah lebaran, di pusat kota, di taman-taman, beralas rumput, beratap bintang-bintang gemilang, berselimut malam, berhias letusan kembang api memecah keheningan.
Malam itu adalah kenangan terakhir dalam kebersamaan. Saat itu Humairoh tidak sendirian, ia ditemani dua adik perempuan, Hadi duduk bersilah dengan sebuah gitar dipelukannya, petikan gitar beriring dengan nyanyian bersama, kadang hanya Hadi dan Humairoh yang satukan suara mendendang lagu “Zaujaty”, dua adiknya hanya bisa bertopang dagu dengan bingung dan senang.
Ketika itu kembang api meluncur kembali seolah ingin menembus langit, semua berhenti tak bernyanyi, bersama menatap langit dengan hiasan kembang api memecah suasana malam. Namun malam itu ia tak sedikitpun berpesan, dibalik pancaran parasnya, di tengah gelapnya malam ia puaskan diri untuk menatap Hadi dalam-dalam, dua matanya begitu lekat memandang, sangat lekat, membuat suasana terhenti sejenak merekam setiap incinya, matanya yang sipit seolah melebar, berjalannya waktu pada malam itu berjalan pula kenangan yang terekam dalam ingatannya.
“Kamu kenapa Umi?” sesaat Hadi terdiam, dua adiknya baru sadar jika Humairoh ada dalam lamunan.
“Aku ingin denger satu lagu dari Mas, satu laguuuu aja,” Humairoh meminta dengan manja. Majid ingat, jemari Humairoh menunjuk angka satu, dengan wajah yang tersenyum dalam layu.
Mungkin itu permintaan terakhir darinya, permintaan yang hanya sekali ia utarakan dibalik sejuta pesan yang selalu ia berikan. Ingatan majid sangat kokoh, selalu mengingat cara jalannya, tatapannya, pesannya, lenggok kepalanya kala berkata dilanda dilemma duka, tulisan tangannya, mimik raut wajah cemberut yang seolah memanggil untuk dipagut dalam mesra.
“Hadi!” tiba-tiba Ibu memanggil, ia berdiri dibelakang Hadi, “Humairoh menunggumu di dalam.”
Hadi berdiri seraya rasa yang tak menentu meresap hati. Ia berusaha menguatkan diri walau pada hakikatnya ia lemah tak berdaya. Hadi berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum meski hakikatnya terpanah duka. Hadi berusaha menahan air mata meski hakikatnya tlah menetes untuk ketiga kalinya. Hadi berusaha terlihat tenang walau pada hakikatnya dirinya terlampau khawatir ditinggalkan. Entah mengapa ada yang membisik untuk belajar melepasnya. Untuk belajar mengikhlaskannya.
“Bagaimana keadaannya Bu?” Hadi terus berusaha bertahan dengan pertanyaan, agar hatinya bisa menguat meski yang terjadi justru melemah. Hadi kembali bertanya,” Ibu! Bagaimana Humairoh bu?,” seolah Hadi ingin mendengar keadaan Humairoh dalam keadaan baik padahal sayup hatinya mengatakan sebaliknya.
Ibu tak menjawab, dia menatap sembari berjalan, seakan begitu berat untuk membri sebenar kabar sesungguh makna.
Jalan rumah sakit seolah menjadi gua, sunyi senyap. Lampu redup tak bersahaja, Hadi mulai tertarik, mulai melangkah cepat, semakin cepat, sampai dekat pintu Hadi sekilat mungkin mengusap mata yang berlinang air, mengubah duka menggambar tawa di wajahnya. Sebelum membuka pintu, tangan Hadi bergetar hebat seiring dada yang terguncang dahsyat.
Pertama kaki melangkah masuk semua yang ada di dalam menatap tajam Hadi menunjuk khawatir pada Hadi, hamper semua pipi basah kuyup, tapi tak semua menghapusnya, Bapak bahkan terpejam diam sedang air mengalir dari kedua jepitan matanya. Semakin Hadi mendekat semua semakin menjauh dari ranjang. Senyum Hadi gambar di dua katup bibir, dua matanya sudah beradu dengan tatapan Siti Humairoh, ia pun dengan sekuat tenaga melukis ceria di kala duka.
“Tinggalkan kami berdua sendirian,” Humairoh meminta.
“Ka’,” Adiknya Dewi merengek.
“Sebentar saja dek ya,” Humairoh membujuk, tangan tertusuk infuse membelai ubun si kecil.
“Ayo Wi,” kakaknya yang lebih besar memaksa, Dewi ditarik keluar dari belakang.
Semua menyingkir, tinggal Hadi dan Humairoh, hanya mereka berdua di kamar 306, tak ada suara kecuali derap gerimis membasahi bumi, detak jarum jam bisa menghilang. Hadi tatap wajahnya, Humairoh tak lagi berkerudung, rambut ratanya terurai dipelataran putih bantal.
“Aku akan pergi mas,” tersenyum Humairoh mengucap, senyum yang diselimuti duka yang mendalam teramat sangat.
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1
Cerita selanjutnya: "Tangis Cinta 3", Bunga Memekar Kembali, Hibur Hati Sesaat, Hujan Tinggalkan Kenangan

Untuk kelanjutannya silahkan kunjungi post saya "Tangis Cinta 3"
Jangan lupa ya teman-teman! Follow, like and Share kemudian komentar atau tanggapan setelah membaca postingan saya :D