Kamis, 03 November 2016

Hujan Tinggalkan Kenangan (6)




Hujan Tinggalkan Kenangan
Tak lama Dewi datang menemui Hadi saat Hadi larut dalam lamunan.
“Kak!...” Dewi kejutkan Hadi.
“Oh ya…” Hadi terkejut sesaat.
“Maaf ka ya, tadi Dewi gak bisa keluar maklum masih belum waktunya.” Dengan muka tunduk, tangan kanan dan kiri menyatu di belakang seolah tak nyaman membuat Hadi menunggu lama.
“Tak apa-apa Dewi, ini uang dari umi dan abi Dewi, Dewi jaga diri baik-baik ya, makannya jangan telat, minum air putih banyak-banyak, kalau ada sesuatu yang pengen diceritain, telpon aja Ka Hadi.” Pesan Hadi sembari mengabarkan ia akan kembali pulang.”
Hadi tak tahu jika Dewi mulai mengisak tangis, mukanya yang spontan memerah tunduk kepalanya yang dalam. Hadi terdiam dan mulai memahami Dewi. Umur Dewi yang masih belasan tahun membuatnya rentan akan kesedihan jika ditinggalkan. Cucur air matanya membasahi pipi hingga ke dagunya.
“Dewi kenapa?.” Hadi sedikit mengarah ke arah wajahnya yang menunduk.
“Jangan lupa sama Dewi ya Ka,” Dewi memohon tanpa menatap, “Kak Hadi sudah menjadi keluarga kami.”
Iya,” Hadi mengiyakan.
Tiba-tiba datang seorang gadis yang juga bertugas sebagai pembimbing santriwati, bermukenah, bersajadah disandar pundak kiri, berdiri dari kejauhan gerbang mengajak para santriwati untuk bersiap sholat dzuhur, ia menatap ruang tamu tampak Dewi sedang menangis tanpa henti. Hujan semakin deras, gadis itu  mulai menghampiri Dewi. Hadi tak bisa pergi dengan keadaan Dewi yang diambang kesedihan. Ustadzah mendekat dan menggapai dari belakang Dewi bahu kanannya, “Dewi kenapa?”
Dewi menggeleng empat kali sambil menundukkan diri.
Hadi baru menyadari kalau yang dihadapannya ini adalah seseorang yang telah menabraknya tadi, ia tampak lebih dewasa, dengan naluri keibuan yang tampak darinya, harum wangi sederhananya seolah parfum bagi hati Hadi rasa syahdu Ilahi. Hadi begitu dekat dengannya pandangannya juga tertuju pada seorang gadis tersebut dengan lesung pipinya pelipur lara.
Dewi kenapa?” Gadis itu mencoba membujuk.
“Dewi sedih karna saya akan berangkat pulang mba’’,” Hadi menjawab.
Dia menoleh ke arah Hadi, empat mata bertemu dalam pandangan hangat di tengah gemuruh hujan yang lebat membahana. Keduanya terikat dalam panduan asmara. Setiap rintik hujan membasahi bumi, setiap itu juga Hadi mulai menabur rasa. Parasnya tampak mengkerut menyimpan malu, “Mas…”
“Dewi jangan sedih ya, seberapa lama pun kakak di sini kakak pasti akan pulang tapi Dewi jangan khawatir, ka Hadi akan hubungi Dewi gak akan lupa sama Dewi.” Hadi meyakinkan tanpa membuat sedih Dewi yang dianggapnya sebagai adiknya sendiri.
“Dewi tahu kak, tapi Dewi tetap takut kehilangan Kak Hadi seperti Dewi kehilangan…” suaranya terhenti sejenak mengingatkannya akan kehilangan kakaknya Humairoh, dia mengeluarkan air matanya tanpa memikirkan apapun, bagai anak kecil yang mengisak tangis, gadis yang melihatnya terdiam seribu bahasa. Semua orang di sekitar menatap kepada ketiga insan yang dinaungi oleh kesedihan mendalam.
Hadi mulai membelai ubun-ubun Dewi sembari mengucap,
“Dewi ingat dengan kata-kata Dewi saat kita di bus, Dewi bilang kalau ketika kita kehilangan maka sesungguhnya Allah memberikan rasa kehilangan pada manusia agar manusia bisa lebih menjaga apa yang sekarang dimilikinya, sekarang kakak anggap Dewi sebagai adik ka Hadi dan kak Hadi akan jaga Dewi, Dewi pun begitu, sekarang Dewi punya ka Hadi di sini maka jaga dan jangan takut.” Hadi bersuara dengan  lembut merayu insan yang bersedih.
Dewi mendengarkan tapi ia sejenak tetap mengikut tangis, meluapkan isi hati. Hampir lima belas menit ia menangis, saat itu hujan semakin deras, hanya dua orang yang menemani Dewi yaitu Hadi dan seorang gadis yang Hadi tak tahu siapa namanya. “Sudah de, gak enak dilihat sama orang.”
Dewi mengangguk, gadis berlesung hanya menikmati pemandangan di hadapannya, mendengarkan, merasakan sembari menetap duduk bak seorang geisha.
“kak Hadi  pamit dulu. Dewi pulang ke asrama, ka Hadi janji tidak akan lupakan Dewi,” semua adik Humairoh, “Insya Allah satu hari kita bisa nyanyi bersama dan ngaji bersama walau tanpa mba Humairoh,” Hadi terus coba memahamkan, “Jangan buat mba’ Humairoh di sana ikut menangis melihat Dewi!”
Dewi mengangguk, ia salami tangan Hadi dan menciumnya, ia juga mencium tangan gadis berlesung. Ia tampak dari belakang berlari keluar, pulang ke kamar menembus hujan tinggalkan hadi berdua dengan gadis berlesung.
“Terima kasih Mba’,” Hadi mengucap tanpa memandangnya.
“untuk apa Mas?”
“Sudah temani aku tenangkan Dewi,” sekilas Hadi menyandar dinding melepas lelah hati.
“Tidak perlu, saya tidak melakukan apa-apa, semua berkat kesabaran Mas,” Ia tersenyum, senyum merekah mengempas lelah, “Seharusnya saya yang memohon maaf.”
“Untuk apa?” kali ini Hadi terkejut, mencoba terpejam sesaat mengingat.
“Untuk yang tadi,” Ia menunjuk ke belakang, kuku-kukunya terlihat lebih panjang.
“Oh itu! Tak apa Mba’ lagian sudah berlalu koq.” Hadi tak ingin membebaninya.
Tak lama dia undur diri, Hadi ke kamar mandi mengambil air wudhu. Selepas sholat Hadi mulai bersiap diri untuk pulang. Masukkan kembali handuk, menutup tas, memakai jaket. Saat tas telah terjaga di punggung, celana lipat di bawah lutut, Hadi mulai bingung melangkah, hujan teramat deras, jika berlari ke tepi jalan menunggu bus basah kuyup sekujur badan, semua tampak memutih terguyur air, percikannya terasa bak serpihan es di jemari kaki.
Hadi hanya bisa berdiri, mendekap dada di balik jaket hitam. Lima menit Hadi menanti, hujan tak kunjung mengecil, selokan meluap, tubuh majid kusut kedinginan, ujung rambut menetes air, lima ratus meter jalan tlah bias tak bisa dipandang, hanya lampu bus menyorot kuning yang tampak di jalan..
“Mas….” Ada yang memanggil Hadi dari dekat, dari belakang tubuhnya.
Hadi menoleh, ternyata gadis berlesung ada di hadapannya, hadi tak tahu apakah dia seorang guru atau santriwati, “Mba’,” Hadi membalas, ia tak menjinjing rok hitam yang menyapu lantai, ia biarkan basah menutup jemari kakinya yang indah.
“Pakai payung ini!” ia memberikan payung putih.
“Aku menunggu saja Mba’, lagi pula aku nanti bingung bagaimana harus mengembalikannya,” Hadi halus menolak.
Ia tersenyum, senyum selimut di tengah hujan, “Mas tampak buru-buru, dari tadi Mas berdiri, tas tak pernah dilepas walau sejenak,” ia kembali tersenyum seraya kedipan dua matanya, “Untuk paying tidak usah bingung, letakkan saja di pinggir jalan, nanti saya sendiri yang akan mengambilnya,” Ia menunjuk jauh ke tepi jalan.
Hadi merasa ragu, rasanya tidak enak, “Tapi…”
“Budi baik saya jangan Mas tolak, lagi pula saya sudah menabrak Mas.”
“Jangan terus diingat Mba’, saya yakin Mba’ tidak sengaja,” Hadi menyela rambutnya yang basah.
“Memang, tapi Mas sedikitpun tak marah, dan karena itu saya justru merasa sangat bersalah,” gadis di depan Hadi seolah tak tersentuh dingin, ia tegar berdiri.
Hadi sedikit luluh, “Bagaimana aku harus membalas ini semua ini?”
“Anggap saja ini angin lalu,” Ia tersenyum sederhana, sebatas menarik dua pangkal bibirnya ke belakang, Hadi kali ini tak melepaskannya. Ia menawarkan budi kepada gadis tersebut.
“Niat baik saya jangan ditolak, katakana saja Mba’,” Hadi membalas,
Ia tertunduk, “Saya tidak sanggung mengatakannya.”
“Tulislah di surat,” Hadi menarik dompet, “Kalau berkenan, kirim saja ke alamat ini.”
Dua tangan menerima, darahnya seolah air mengalir jernih kulitnya, “Terima kasih.”
Hadi membuka payung, berjalan menembus hujan, jika ada air yang menggenang, Hadi tidak loncat tapi menoleh ke belakang, mengintip di balik deras lebat hujan sosok gadir yang Hadi lupa bertanya akan namanya. Ia tampak tegar berdiri di teras ruangan, berdiri sendiri berbalut keindahan seorang perempuan, bahkan kala Hadi menunggu bis di tepi jalan ia masih terlihat berdiri di tempat ia melepas kepergian Hadi. Wajahnya memang tak tampak terhalang hujan, taoi Hadi berusaha sebisa mungkin mengenang. Saat bis datang, payung Hadi tinggalkan di tepi jalan.
Hadi tak mungkin melupakannya, akan terus mengingatnya, dan ingin bisa memandangnya. Hadi memang tak tahu nama, tak tahu asal usulnya. Mingkin pertemuan itu hanya sebatas kenangan sejenak untuk dilupakan walau Hadi berdo’a dalam lamunan akan ada kisah kelanjutan yang dinantikan. Dalam bis Hadi memandang keluar, ingin melukis wajahnya di kaca dengan air hujan karena ia tlah terlanjur tinggalkan kenangan.
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1, Tangis Cinta 2, Tangis Cinta 3 , Bunga Memekar Kembali, Hibur Hati Sesaat.
Jangan lupa ya teman-teman! Share and ikuti, kemudian kasih tanggapan, tanggapan dari teman adalah ilmu bagi saya... :) Tunggu season berikutnya ya... :)

Hibur Hati Sesaat (5)



Hibur Hati Sesaat
Sampai di Ponorogo tepan pada adzan subuh bergema pada sebuah mesjid di pondok, terlihat banyak santriwati bersiap menata air dalam wudhu, ada beberapa yang membawa sikat gigi dan odol sembari berwudhu, Hadi melihatnya dalam kejauhan dari gerbang, bus berhenti tepat di depan gerbang pondok, terpampang nama pondok Darul Qur’an, embun yang mengarungi lampu bus penanda kabut shubuh yang dingin pada saat itu. Bukan hanya bus, mobil-mobil lain juga berderet parker mengantar buah hati masing-masing.
“Ka Hadi…” Panggil Dewi kepada Hadi yang sempat terpaku sejenak.
“Oh ya…” Hadi temani Dewi tuk mengantarnya sampai ke pondok.
Berdua ke ruang tamu, Dewi menjinjing satu tas, Hadi menyeret koper besarnya Dewi, mereka berdua harus melapor ke ruang tamu. Di samping gerbang pondok, tepat sebelah kiri, dan ada empat santri menjaga, ke empatnya berjaket, Hadi tak tau kelas berapa, ia hanya melapor atas kedatangan Dewi.
Hadi ingin ikut masuk mengantar Dewi melewati gerbang, namun seseorang yang tinggi dan besar, seperti orang padang pasir berdiri tepat di depan Hadi, “Maaf Mas di sini saja, dilarang masuk bagi laki-laki.”
“Ka Hadi tunggu di sini, nanti Dewi kembali lagi.” Dewi berbisik pada Hadi.
Hadi menunggu di samping gerbang, sorot mata memandang melewati gerbang, tampak keramaian santriwati sibuk dengan kegiatannya. Ada yang membaca al-Qur’an, ada yang berdzikir, ada yang menyapu, ada yang mengepel, ramai saat itu kegiatan sembari menunggu matahari tampakkan diri. Namun, ada satu perempuan entah itu santriwati atau itu ustadzah Hadi tak tau, ia mulai mendalami pandangannya pada seseorang itu, tubuhnya kurus, dengan pakaian gamis putih, jam tangan berwarna pink, dengan kaos kaki warna hitam, bibirnya yang tipis, kedipan matanya yang lembut, cara bicaranya yang santun, Hadi tak mendengar suaranya karna diiringi dengan suara keramaian orang. Kadang seseorang itu bercanda tawa kepada temannya, senyumnya yang anggun menggugah hati pada kala orang memandangnya, kulitnya putih, matanya yang agak sipit, hidungnya yang tidak terlalu mancung, tubuhnya yang mungil memaksa mata tak berberhenti memandang. Kini ia duduk tepat di samping mesjid bersandarkan dinding mesjid pondok, dengan buku bacaan di tangannya, Hadi tak sadar dirinya telah memperhatikannya hingga matahari mulai muncul setengah. Kadang sesekali dia tertatap kepada Hadi namun ia acuh, dan membaca buku kembali.
Dalam hati Hadi tertawa bertemu wajah yang imut lagi cantik dengan parasnya, ia anggun, berbicara nan sopan, senyum yang mempesona, kalau berjalan pada yang lebih tua ia tunduk dengan hormatnya, kadang ia menghibur sahabatnya, saat bicara ia langsung memainkan tangan memperkuat perkataannya membuat orang memperhatikannya. “Ada apa lagi denganku ini?.” Hadi menepuk kepala sembari heran dan tidak terlalu mengikuti hati untuk lebih mengenal dekat dengan seseorang tadi. Hadi sadar, mungkin ini hanya sebuah penghibur hatinya yang lagi terluka, obat bagi jiwa sementara, mungkin hanya sebatas penghibur dari Allah tuk meredakan kesedihannya sesaat. Hadi pandang sebelah timur, matahari telah membuka pagi dengan sinarnya menembus relung-relung hati wali santriwati mengecup mesra anaknya yang hendak ditinggal di pondok tuk tuntut ilmu.
Menjelang waktu dhuha, Dewi tak kunjung datang juga menemui majid, mungkin karna belum waktunya untuk bisa keluar, Hadi duduk di teras ruang tamu, hanya dia sendiri di sana, ia mulai jenuh, akhirnya ia berwudhu sembari tenangkan pikiran, ia sholat dhuha di mushola dalam ruang tamu, berukuran sekitar 5 x 5 per segi empat, tanpa ada seorang pun di sana karna waktu masih terlalu pagi.
Hadi duduk kembali di teras tamu menanti kedatangan Dewi, seperti orang tua biasanya, ia duduk melamun sambil melihat keadaan pondok dari kejauhan. Terkadang ada beberapa santriwati yang bisa ia lihat sebagai hiburan mata sesaat menghilangkan kejenuhan, hingga sudah jam 10 siang Hadi tetap duduk, cuaca saat itu mendung mengabarkan gerimis akan segera turun, Dewi tak juga datang.
Hadi tak bisa meninggalkan Dewi karna, uang dari orang tua Dewi untuk Dewi masih di tangan Hadi. Rintik hujan mulai turun, kadang Hadi mondar mandir mengisi waktu yang luang, kadang ia membuka buku yang di bawanya dan membacanya, kadang ia berceritaan dengan penjaga gerbang.
“Kring…! Kring….! Kring….!” Bunyi bel sepeda dari belakang Hadi.
“Brak!!!.” Hadi terjatuh bersama sepeda yang menabraknya. Tampak oleh Hadi seseorang yang bermata sipit, wajahnya putih, jilbab putih dan pakaian gamis seperti perempuan yang ia pandangi pagi tadi.
“Aduuuhhh, maaf mas, maaf saya tidak sengaja, remnya mendadak gak mau dan cuaca gerimis membuat jalan jadi licin, aduuhhh sekali lagi maaf mas.” Ucap perempuan tersebut dengan wajah yang malu sekaligus tidak nyaman atas tindakannya, badannya terjatuh bersamaan dengan Hadi terjatuh, tangannya ingin menggapai Hadi untuk membersihkan bajunya tapi seperti ada sesuatu yang ia pikirkan hingga ia kembali ambil tangannya. Tingginya sekitar 158 cm, kerudungnya sedikit kotor karna terjatuh, pipinya lesung, bibirnya yang tipis. Tak sadar pandangan Hadi sudah terikat dengan parasnya perempuan tersebut, ia diam memandang, mungkin karna begitu cantik ia terpaku di hadapan perempuan tersebut, ia sadar bahwa sosok inilah yang ia pandangi pagi tadi, yang duduk di teras mesjid sambil membaca buku, sebegitu indah parasnya membuat ia terjebak dalam diamnya, hampir 3 menit perempuan itu berbicara minta maaf, selama itu pula Hadi diam menatap wajahnya.
“Mas?....” Perempuan tersebut tegur Hadi takut terjadi sesuatu.
“Eh iya mba, oh gak apa-apa mba, lagian jalannya memang licin, mba gak papa?.” Jawab Hadi dengan tegang dan agak sedikit malu.
Bunyinya bel dari dalam pondok memisah kedua insan tersebut. Perempuan itu masuk ke dalam gerbang, kakinya yang sedikit pincang membuatnya sulit untuk membawa sepeda, namun dari raut wajahnya hanya rasa tidak nyamannya terhadap Hadi. Hadi tersenyum memandangnya, dari rintikan gerimis yang turun seolah salju yang bertebaran.
Hadi tidak tau apakah ini adalah seseorang yang menjadi pengganti sebagian hatinya yang hilang, penjahit luka hatinya, penghibur kesedihannya. Ia hanya bingung dan termenung atas kejadian tadi, setitik harapan yang ia suguhkan kepada Allah, ia berharap Allah memberikan yang terbaik baginya, bagi orang tuanya. 
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1, Tangis Cinta 2, Tangis Cinta 3 , Bunga Memekar Kembali
Cerita selanjutnya: Hujan Tinggalkan Kenangan
Jangan lupa ya teman-teman! Share and ikuti, kemudian kasih tanggapan, tanggapan dari teman adalah ilmu bagi saya... :) Lihat season selanjutnya "Hujan Tinggalkan Kenangan" atau di bawah profil.